Monday, August 8, 2011

Tren Suami-Istri Cerai Karena Beda Pandangan Politik

Perceraian tidak semata-mata disebabkan oleh permasalahan ekonomi dan perselingkuhan. Tren terbaru yang dirilis Mahkamah Agung (MA) menyebutkan perceraian juga disebabkan adanya beda pandangan politik antara suami-istri.

Tren ini pun mengikuti dinamisasi politik nasional. Di saat Pemilu dan Pilpres, jumlahnya tinggi. Sementara pemilu selesai, tren perceraian juga ikut turun.

"Dari 285.184 perceraian di seluruh Indonesia, sebanyak 334 dipicu perbedaan politik pasangan," ujar MA.

Data yang dilansir Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini menyebutkan, kasus cerai karena beda politik paling tinggi di Jawa Timur yaitu sebanyak 221 pasangan. Disusul Jawa Barat sebanyak 51 kasus perceraian dan di tempat ketiga Jawa Tengah sebanyak 36 kasus perceraian.

Di Riau ditemukan 13 kasus perceraian karena beda pandangan politik. Adapun Sumatera Selatan, Papua dan Sulawesi Selatan masing-masing 2 kasus. Sedangkan di Aceh, Bengkulu, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah dan dan Nusa Tenggara Barat 1 kasus perceraian.

"Untuk provinsi lain selain di atas tidak ditemukan adanya kasus perceraian disebabkan pandangan politik. Jakarta juga tidak ada," terang MA.

Lihat pada statistik 2009 di mana sedang ramai diadakan Pemilu dan Pemilihan Presiden. Dalam tahun tersebut, 402 kasus perceraian terjadi. Sedangkan di 2010, saat situasi politik kembali normal, maka perceraian politik menurun menjadi 334 kasus belaka.

Ditanyai mengenai data di atas, psikolog forensik Universitas Bina Nusantara, Reza Indragiri Amriel, hanya tertawa. Menurutnya, banyak kekurangan dalam kategorisasi data yang dibuat oleh Badan Peradilan Agama tersebut.

"Apakah kalau cerai karena beda politik, lalu solusinya adalah suami-istri harus satu partai?" tanya Reza saat dihubungi wartawan.

Jika data yang dilansir MA demikian adanya, kata Reza, maka untuk mencegah perceraian adalah dengan kembali ke Orde Baru, di mana jumlah parpol sedikit. Semakin sedikit parpol berarti semakin dikit perbedaan, dan hal itu akan membuat angka perceraian menjadi rendah.

"Perlu diteliti juga, apakah perceraian di negara demokrasi lebih tinggi daripada di negara otoriter atau negara tanpa partai," tuntas Reza.


No comments:

Post a Comment