Sunday, August 21, 2011

Somalia, Negara yang Selalu Terabaikan

Pekan lalu, media ramai membicarakan kerusuhan dan penjarahan di Inggris. Di saat yang sama, rakyat Somalia berjuang mencari makan untuk kelangsungan hidup. Namun, masalah untuk negara Afrika ini tampaknya terabaikan.





Ibukota Inggris menjadi saksi kebrutalan kaum mudanya. Unjuk rasa untuk memprotes kematian pemuda yang ditembak mati oleh polisi dijadikan kesempatan bagi pemuda-pemuda marah untuk bebas menjarah. “Saya mengambil kembali pajak yang sudah dibayarkan,” ujar seorang penjarah yang tertangkap.



Ketika para pemuda mengamuk di London karena ‘kegilaan sementara’, di saat yang sama terjadi unjuk rasa di pinggir Ibukota Somalia, Mogadishu. Tentu dengan masalah yang sangat jauh berbeda. Sebanyak 300 ton makanan yang diterbangkan World Food Programme (WFP) ke kamp pengungsi di Badbaado, tempat 30 ribu orang kelaparan, diserbu massa.



Kedua peristiwa di benua berbeda ini pun menelan korban. Tiga orang tewas di London, akibat tabrak lari saat berusaha melindungi bisnisnya dari penjarah. Sedangkan di Somalia, aksi rebutan makanan itu menewaskan tujuh orang. Selain 65 balita yang tewas karena kelaparan.



Dunia pun menjadi saksi kontrasnya dua permasalahan ini. Namun, sayang, yang menjadi perhatian besar hanya kasus anarki di London. Sedangkan kerusuhan akibat ‘masalah perut’ di Somalia lenyap, bak ditelan angin.



“Kadang ingin rasanya membuat mereka sadar dengan perspektif ini. Di sini, anda menyaksikan kambing mati, tanaman mati dan anak-anak meninggal. Setiap pekan, anda harus mencari kamp pengungsi agar bisa hidup. Masalah mereka tak ada tandingannya,” ujar CEO World Vision Australia Tim Costello, yang baru saja tiba untuk menyalurkan bantuan di Somalia.



Baginya, 13 juta orang di Somalia berada di ambang kondisi ‘kiamat’. Terutama karena masalah itu tidak kunjung pulih selama 19 tahun terakhir, bahkan memburuk tiap tahunnya. Aparat kewalahan dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan 3,2 juta penduduk Somalia amat menderita.



“Semua pihak pun setuju, jalan keluar dari kekeringan terburuk yang melanda Afrika dalam 60 tahun terakhir, tak bisa diimplementasikan dalam hitungan hari, bulan atau tahun,”paparnya.



Namun, sorotan untuk negara benua hitam ini tak sebesar perhatian yang diterima oleh Inggris. Meski kata ‘kiamat’ bisa digunakan untuk menggambarkan rekaman-rekaman insiden London, dimana geng-geng sadis berkeliling dan menjarah. Namun di akhir hari, mereka mampu menyelesaikan masalah kerusuhan di Inggris ini.



Costello pun menilai diskriminasi ini amat membuat frustasi para aktivis, seperti dirinya. “Tampaknya, apa yang terjadi di dunia akan menyingkirkan kisah (mengenai kelaparan) ini. Kulminasi skandal penyadapan dan bahkan krisis kredit Eropa, membuat Somalia tersingkir. Ada persepsi bahwa rakyat Somalia memang sudah terbiasa menderita. Ini salah, siapapun akan marah jika anaknya meninggal,” katanya.



Pemuda Inggris memilih menggunakan kesempatan untuk menjadi penjarah, bergabung dengan geng agar dikatakan keren. Pemuda Somalia, memiliki pilihan yang jauh berbeda. Mereka harus bergabung dengan geng penjarah, agar keluarganya bisa makan. Meski sangat disayangkan, geng Somalia ini sebagian besar terdiri dari pemberontak dan militan.




No comments:

Post a Comment