Pesawat Jet P2-ANW Dassault Falcon 900EX, yang dioperasikan maskapai Air Niugini untuk Pemerintah Papua Nugini.
Aksi intersepsi atau pencegatan di langit Banjarmasin hingga Makassar itu berlangsung November 2011 lalu. Namun, entah kenapa, Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'neil baru memperkarakannya di depan media Jumat, 6 Januari 2012 lalu, setelah selang hampir dua bulan kemudian. Banyak yang bertanya, ada apa di balik motif Papua Nugini berniat mengusir Duta Besar Indonesia Andreas Sitepu dari negara tetangga itu? Bagaimana sesungguhnya insiden itu bermula?
Peristiwa itu bermula ketika Selasa, 29 November 2011, pukul 10.13 WITA, radar Pangkalan Udara (Lanud) Sjamsuddin Noor Banjarmasin mendeteksi pesawat jet P2-ANW Dassault Falcon 900 Ex. Jet itu bergerak dari Subang (Selangor), Malaysia, ke arah Papua Nugini. Dari titik ordinat terbang, pesawat itu akan melintasi wilayah udara Indonesia.
Petugas pengawas udara Makassar kemudian mencoba mengontak pesawat Falcon untuk menanyakan asal pesawat, tujuan, serta izin penerbangan. Pesawat itu diketahui masuk dalam unschedule flight(penerbangan tidak rutin). Namun pesawat tidak merespons, bahkan juga tidak membuka komunikasi. Petugas mengontak Kohanudnas dan Departemen Perhubungan. Dicek lagi, tidak ada data penerbangan Falcon 900 Ex.
Sekitar pukul 10.40 WITA, sepasang Sukhoi milik TNI AU melesat dari Pangkalan Udara (Lanud) Sultan Hasanuddin Makassar mendekati pesawat Falcon. Keduanya mendekat, lalu menjepit kiri dan kanan, sambil terus membuka komunikasi. "Sesuai prosedur memang begitu" kata juru bicara Markas Besar TNI Angkatan Udara, Marsekal Pertama Azman Yunus.
Awak jet tempur RI terus berkoordinasi dengan Komando Pertahanan Udara Nasional. Sukhoi melaporkan ciri utama pesawat Falcon adalah berwarna putih dan terdapat gambar burung merah di bagian sayap belakang. Akhirnya diketahui bahwa Falcon tersebut baru mengurus izin melintas pada hari itu sehingga belum diperoleh ketika melintasi Indonesia.
Sekitar pukul 11.17, Sukhoi membebaskan Falcon yang ditumpangi Deputi Perdana Menteri Papua Nugini H.O.N. Belden Namah itu untuk melanjutkan perjalanan. Perintah pembebasan dilakukan Komando Pertahanan Udara Nasional. "Itu tugas utama kami sebagai TNI AU. Kami ingin memastikan tak semua pesawat asing bisa melintas di wilayah udara kita tanpa izin," kata Azman lagi. "Pukul 11.42, Sukhoi kembali mendarat di Makassar.”
Peristiwa di udara itu hanya berlangsung sekitar 37 menit. "Tidak ada ancaman, tidak pula ada senggolan," kata Menko Polkam Djoko Suyanto. Karenanya, Djoko menganggap prosedur pencegatan yang dilakukan Mabes TNI AU sudah sesuai prosedur yang berlaku.
Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas), kata Djoko, melakukan identifikasi visual dengan cara intersepsi. "Lagi-lagi ini karena data flight clearance yang diterima berbeda dengan hasil tangkapan radar bandara maupun radar Kohanudnas," ujarnya. "Tidak ada istilah mengancam atau membahayakan.”
Semua prosedur, menurut Djoko, dilakukan di bawah kontrol, baik radar di darat maupun pilot pesawat tempur. Djoko menegaskan intersepsi ini merupakan prosedur standar jika ada ketidakcocokan data aktual di udara. “Itulah gunanya Komando Pertahanan Udara,” ujarnya. Karenanya, Djoko minta media untuk tidak melebih-lebihkan insiden ini.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pemerintah pada Jumat pekan lalu telah memberi penjelasan kepada Duta Besar Papua Nugini Peter Ilau perihal intersepsi. "Duta Besar Papua Nugini menyampaikan apresiasi atas penjelasan yang disampaikan dan akan meneruskan ke pemerintahannya," ujar Menteri Marty Natalegawa.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Michael Tene, kemarin menyatakan belum ada juga pengusiran terhadap Andreas Sitepu. Sedangkan juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum berencana berbicara langsung dengan Peter O'Neil. "Dibicarakannya di tingkat menteri luar negeri," katanya.
Pengamat intelijen, Mardigu Wawiek Prabowo, menilai Indonesia sedang ditantang untuk bisa lebih tegas soal perbatasan. Ia menyatakan intersepsi oleh Sukhoi sudah tepat. Menurut dia, Papua Nugini sudah bertindak sewenang-wenang dengan hanya menggunakan izin pesawat Global Express milik India untuk memasuki wilayah udara Indonesia.
Peristiwa itu bermula ketika Selasa, 29 November 2011, pukul 10.13 WITA, radar Pangkalan Udara (Lanud) Sjamsuddin Noor Banjarmasin mendeteksi pesawat jet P2-ANW Dassault Falcon 900 Ex. Jet itu bergerak dari Subang (Selangor), Malaysia, ke arah Papua Nugini. Dari titik ordinat terbang, pesawat itu akan melintasi wilayah udara Indonesia.
Petugas pengawas udara Makassar kemudian mencoba mengontak pesawat Falcon untuk menanyakan asal pesawat, tujuan, serta izin penerbangan. Pesawat itu diketahui masuk dalam unschedule flight(penerbangan tidak rutin). Namun pesawat tidak merespons, bahkan juga tidak membuka komunikasi. Petugas mengontak Kohanudnas dan Departemen Perhubungan. Dicek lagi, tidak ada data penerbangan Falcon 900 Ex.
Sekitar pukul 10.40 WITA, sepasang Sukhoi milik TNI AU melesat dari Pangkalan Udara (Lanud) Sultan Hasanuddin Makassar mendekati pesawat Falcon. Keduanya mendekat, lalu menjepit kiri dan kanan, sambil terus membuka komunikasi. "Sesuai prosedur memang begitu" kata juru bicara Markas Besar TNI Angkatan Udara, Marsekal Pertama Azman Yunus.
Awak jet tempur RI terus berkoordinasi dengan Komando Pertahanan Udara Nasional. Sukhoi melaporkan ciri utama pesawat Falcon adalah berwarna putih dan terdapat gambar burung merah di bagian sayap belakang. Akhirnya diketahui bahwa Falcon tersebut baru mengurus izin melintas pada hari itu sehingga belum diperoleh ketika melintasi Indonesia.
Sekitar pukul 11.17, Sukhoi membebaskan Falcon yang ditumpangi Deputi Perdana Menteri Papua Nugini H.O.N. Belden Namah itu untuk melanjutkan perjalanan. Perintah pembebasan dilakukan Komando Pertahanan Udara Nasional. "Itu tugas utama kami sebagai TNI AU. Kami ingin memastikan tak semua pesawat asing bisa melintas di wilayah udara kita tanpa izin," kata Azman lagi. "Pukul 11.42, Sukhoi kembali mendarat di Makassar.”
Peristiwa di udara itu hanya berlangsung sekitar 37 menit. "Tidak ada ancaman, tidak pula ada senggolan," kata Menko Polkam Djoko Suyanto. Karenanya, Djoko menganggap prosedur pencegatan yang dilakukan Mabes TNI AU sudah sesuai prosedur yang berlaku.
Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas), kata Djoko, melakukan identifikasi visual dengan cara intersepsi. "Lagi-lagi ini karena data flight clearance yang diterima berbeda dengan hasil tangkapan radar bandara maupun radar Kohanudnas," ujarnya. "Tidak ada istilah mengancam atau membahayakan.”
Semua prosedur, menurut Djoko, dilakukan di bawah kontrol, baik radar di darat maupun pilot pesawat tempur. Djoko menegaskan intersepsi ini merupakan prosedur standar jika ada ketidakcocokan data aktual di udara. “Itulah gunanya Komando Pertahanan Udara,” ujarnya. Karenanya, Djoko minta media untuk tidak melebih-lebihkan insiden ini.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pemerintah pada Jumat pekan lalu telah memberi penjelasan kepada Duta Besar Papua Nugini Peter Ilau perihal intersepsi. "Duta Besar Papua Nugini menyampaikan apresiasi atas penjelasan yang disampaikan dan akan meneruskan ke pemerintahannya," ujar Menteri Marty Natalegawa.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Michael Tene, kemarin menyatakan belum ada juga pengusiran terhadap Andreas Sitepu. Sedangkan juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum berencana berbicara langsung dengan Peter O'Neil. "Dibicarakannya di tingkat menteri luar negeri," katanya.
Pengamat intelijen, Mardigu Wawiek Prabowo, menilai Indonesia sedang ditantang untuk bisa lebih tegas soal perbatasan. Ia menyatakan intersepsi oleh Sukhoi sudah tepat. Menurut dia, Papua Nugini sudah bertindak sewenang-wenang dengan hanya menggunakan izin pesawat Global Express milik India untuk memasuki wilayah udara Indonesia.
No comments:
Post a Comment